Kamis, 25/04/2024 11:04 WIB WIB

BIAK Ex Palagan, Bersiap Meluncur ke ANGKASA

BIAK Ex Palagan, Bersiap Meluncur ke ANGKASA Momen Evi Aryati Arbay menemui Nobuteru Iwabuchi untuk menyerahkan Buku BIAK Debris of War di Jepang


Evi Aryati Arbay terus menarik kedua sudut bibirnya ke atas, tampak semringah. Saat duduk, ia langsung menceritakan perjalanannya mengabadikan momen bersejarah kala ia mendatangi Pulau Biak. “Biak sebagai reminder untuk kita bahwa perang itu ternyata membawa banyak luka, apalagi masyarakat disana harus terlibat konflik dan menderita hingga tempat mereka hidup pun “dipinjam” untuk medan pertempuran berdarah,” tutur Pimpinan Proyek sekaligus Penulis Buku BIAK Puing-Puing Perang (Debris of War) Evi Aryati Arbay.

Semangat berapi-api Evi Aryati Arbay tidaklah mengejutkan. Ia tahu benar kondisi disana, selama dua tahun ia harus bolak-balik Jakarta – Biak hanya untuk melakukan penulisan buku tersebut serta aktif dalam mempromosikan Biak sebagai potensi wisata minat khusus perang dunia/perang pasifik kepada para clientnya yang mayoritas 80% turis mancanegara. Melihatnya seperti tidak pernah lelah, ia begitu senang ketika buku yang dibuatnya bisa menjadi media pembelajaran banyak orang, kajian penelitian atau literature tentang perjalanan sejarah Indonesia.

“Buku ini bisa menjadi Pengingat kita bersama bahwa tidaklah sedikit biaya yang harus kita bayar untuk sebuah PERANG, mungkin tidak hanya berimbas pada para pelakunya saja tapi efek perang itu bisa dirasakan dan berdampak pada banyak hal di kehidupan umat manusia hingga berpuluh-puluh tahun kemudian,” ujar Evi Aryati Arbay saat wawancara dengan Lider.id,
Jakarta Timur (15/10/2021).

Tentu bagi Evi, membuat Buku bukanlah hal baru. Beberapa tahun lalu, ia membukukan cerita perjalanannya tentang Suku Dani dari pegunungan jayawijaya (2014) dalam buku berjudul Dani Manusia Pegunungan (DANI The Highlanders) dan Suku Baduy Terkunci oleh waktu atau dikenal BADUY Locked in Time pada 2015, hal ini karena kecintaannya terhadap eksistensi kedua suku adat tersebut di dalam memperkuat Bangsa Indonesia sehingga iapun ingin lebih banyak orang Indonesia mengenal kedua saudara kandung kita tersebut lebih jauh lagi melalui buku-buku yang ia terbitkan secara independen ini.

Selama pertemuan, tak hanya ceria pilunya peninggalan perang biak saja yang ia bagi tapi juga impian dan nasib masa depan Biak yang ia anggap ruamh keduanya di Papua setelah Wamena.
Berikut penjelasannya :


Bisa ceritakan awal mula proyek pembuatan buku foto ?

Awalnya dari Pameran tunggal saya tentang Papua, khususnya Suku Dani dari Jayawijaya di Tokyo Jepang pada tahun 2015 lalu yang terbilang sukses dan mampu menarik banyak perhatian orang, tidak hanya Diaspora Indonesia saja tapi juga diminati oleh orang jepang sendiri sehingga ini cukup membuat saya kaget, apa lagi ini pemeran solo perdana saya dan hampir tiap hari saya mendapati antusiasme orang mengamati foto-foto yang menceritakan kehidupan suku dani juga puing-puing perang di biak tapi saya juga menerima begitu banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh banyak orang jepang yang dating berkunjung terkait Bagaimana caranya kalau mau ke Papua, apakah anda mengerti daerah-daerah peninggalan perang dunia di Indonesia khususnya di Papua, ada juga yang menanyakan berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkunjung ke Jayapura dan Biak.

Jadi pertanyaan-pertanyaan seperti itu lah yang menarik perhatian saya sebagai Tour Operator, sehingga setelah pameran saya memperlajarinya lebih details lagi, membaca banyak buku dan menemukan yang menarik di Biak hingga saya menghubungi Bapak Unsior dan Meki Kapitarauw dengan mengatakan “Pak tahun depan Biak jangan pergi-pergi Pameran Luar Negeri dulu, yuk kita susun Buku Potensi Pariwisata Biak dulu lah baru ke Luar Negeri lagi!”

Lalu Apa tujuan Anda membuat Buku BIAK DEBRIS OF WAR dan Berapa lama proses pembuatannya ?

Awalnya pembuatan buku ini untuk promosi potensi Pariwisata Biak tapi seiring berjalannya waktu saat proses pembuatan buku itu berlangsung malah kami menemukan banyak hal sehingga bukan hanya potensi pariwisata biasa tapi Biak juga bisa menjadi wisata minat khusus dalam hal ini wisatawan peminatan wisata perang dunia dan wisata Ziarah untuk keluarga veteran baik Jepang maupun Amerika Serikat. Sehingga saya berupaya bagaimana bisa menghasilkan gabungan sebuah buku sejarah dan buku pariwisata beserta nilai kemanusiaan atau Humanity yang terkandung didalamnya ke dalam satu buku sehingga khalayak tidak terasa sedang baca buku sejarah yang serius, karena tampilan visual yang baik dan maksimal, hal ini menunjukkan bahwa Penulis Indonesia mampu membuat Buku sejarah yang baik sehingga saya
memerlukan waktu 2 (dua) tahun untuk pembuatannya dengan lokasi penelitian tidak hanya di Jakarta tapi banyak di Biak dan beberapa kali harus ke Jepang juga.


Apa yang menjadikan BIAK menjadi sangat istimewa ?

Bagi saya pribadi, Biak sangat istimewa sekali yah, tidak hanya dari letaknya yang strategis di gerbang pasifik yang membuatnya Indah up and down tapi juga kaya akan budaya dan tradisi masyarakat pesisir pantai Papua yang sangat legendaris. Sementara itu begitu banyak orang Indonesia tidak mengetahui Peran penting Biak dalam dalam sejarah perjalanan kemerdekaan Indonesia sendiri dan Biak pernah menjadi Palagan Perang Pasifik yang sangat penting dan menentukan meski sayangnya peristiwa perang tersebut seperti “terlupakan” dari arena perang dunia lainnya.


Kesulitan apa yang sebenarnya dihadapi saat mengabadikan momen disana ?

Kesulitan yang paling kami rasakan adalah Literature dari sisi Jepang karena lebih mudah kita menemukan buku atau akses data dari sisi Amerika Serikat, selain itu tentunya untuk menemukan Saksi sejarah di Biak yang masih hidup, kalaupun ada usianya sudah tak muda lagi hingga sulit sekali mereka mengingatnya bahkan ada beberapa yang kami temui juga tidak mau bercerita lagi soal perang. Ada pula narasumber yang ketika perang itu terjadi umurnya masih sangat kecil sekali sehingga kami harus banyak sekali mencari dan mendengarkan narasumber untuk memperkuat data yang ada.

Bisa ceritakan bagaimana pengalaman bertemu keluarga korban perang ?

Saya memerlukan waktu yang cukup lama dan proses panjang untuk menemukan beberapa nama itu, baik yang datang dari penduduk setempat di Biak, melalui berbagai buku yang saya baca maupun maupun sumber lainnya sehingga sampai saya memilih untuk menemui salah satu diantara mereka yang saya rasa harus saya temui “in person” meski keberadaannya di Iwate yang jaraknya 7 jam dari Tokyo. Yah, untungnya Iwabuchi memberi kesempatan itu sampai ketika bertemu dia bilang “kamu adalah orang muda Indonesia, perempuan, yang pertama dan berani bicara tentang Perang dengan saya.

”Setelah itu dia melemparkan segepok kertas yg berisikan data-data pribadi saya, artinya disini memang tidak mudah untuk menemui keluarga korban perang dan banyak diantara mereka tidak tau membicarakannya lagi, apalagi dengan sembarangan orang. Saya pernah juga malah dikira Skammer (mungkin) ketika menghubungi salah satu anggota keluarga tentara korban perang jadi hal itu juga menjadi satu tangtangan tersendiri buat saya.


Berapa banyak total korban perang di Biak ? Apakah seluruh tulang belulang korban nantinya bisa dibawa ke negara asalnya ?

Kekuatan kedua belah pihak yang berperang antara jumlah tentara Amerika serikat dan tentara Jepang kekuatan jumlahnya hampir sama, Amerika perlu menguras begitu banyak tenaga untuk mengalahkan Jepang di Biak bahkan Mentor saya Almarhum Aristides Katoppo pernah mengatakan “Amerika hampir kembali ke Laut di Biak” namun mengingat Jepang merupakan pihak yang kalah perang, pastinya banyak sekali untuk Jepang, sekitar 11.000 gitu jumlahnya.

Sementara untuk US jumlahnya jauh sekali dibawah Jepang. Namun sampai dengan hari ini kedua Negara berupaya keras untuk mengembalikan tulang belulang para tentaranya yang gugur di medan perang itu, karena pastinya bagi kedua Negara itu mereka adalah pahlawan perang yang tidak patut untuk ditinggalkan begitu saja oleh Negara, sehingga saya rasa selama Negara-negara tersebut memiliki perjanjian kerjasama Repatriasi tulang belulang tersebut dengan Indonesia maka kemungkinan besar semua tulang belulang tersebut pastinya bisa kembali pulang ke Negaranya dengan terhormat. 

Apakah seluruh tulang belulang korban nantinya bisa dibawa ke Negara asalnya ?

Untuk melalulintaskan potongan tubuh manusia meski itu hanya tinggal tulang belulang itu tidak lah mudah, sehingga harus dilakukan/dibuat kerangka kerjasama antar kedua Negara agar tulang belulang tersebut bisa dilalu lintaskan, biasanya melalui kerangka kerjasama Repatriasi dimana pastinya sangat memungkinkan tulang belulang yang tersisa tersebut dibawa pulang oleh pihak Jepang atau Amarika Serikat selama itu di setujui oleh Indonesia yang telah di nyatakan dalam sebuah perjanjian atau kesepakatan bersama antar kedua Negara, dalam hal ini (Indonesia – Jepang atau Indonesia – Amerika). 


Bagaimana peran warga lokal dalam menjaga daerahnya dan tulang belulang yang ditemukan tsb ?


Pertama Kita harus berbangga khususnya untuk Negara asal para tuang belulang itu (Amerika/Jepang) bahwa masyarakat Biak mungkin tidak punya dendam sama sekali meski perang kala itu pastinya memilukan banyak hati hingga merekapun masih rela menjaga dan menyimpan dengan sangat baik tulang belulang itu selayaknya keluarga sendiri.

Selain itu peran masyarakat dan Pemerintah Daerah di dalam menjaga spot-spot ex perang tersebut dapat lebih diperkuat lagi karena daerah tersebut bisa dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata minat khusus, yakni wisata perang yang memiliki pasar sendiri pastinya. Dan dibanyak tempat hal itu telah dilakukan dan peminatnya juga banyak seperti Kokoda Trail di PNG dan Trail Napak Tilas Perang Tentara Australia di wilayah Sabah-Serawak, Malaysia yang banyak diminati, biaya tripnya juga tidak murah.


Pengalaman unik apa yang pernah dialami selama berada di Biak ?

Well, saya punya banyak kenangan di Biak terutama saat pembuatan buku ini pastinya, dimana kami mengalami banyak hal-hal mistis, karena kita berhubungan dengan tulang belulang manusia, tidak bisa sembarangan dan banyak tantangan yang sangat berat tapi dengan niat tulus dan kenyakinan bahwa apa yang kami kerjakan akan bermanfaat bagi banyak orang membuat kami bisa melalui itu semua.

Foto : Evi Aryati Arbay berfoto bersama para peserta diskusi buku Biak yang datang ke Tokyo dari berbagai kota di Jepang sementara banyak peserta lainnya membatalkan kehadirannya setelah Perdana Menteri Jepang pengumuman penutupan sekolah umum di seluruh Jepang akibat Penyebaran Virus Corona pada Maret 2020 lalu.


Hal apa yang paling membekas pada masyarakat saat ini ?

Saya rasa hal yang paling membekas pada masyarakat Biak pastinya adalah Cerita Perang itu, meski mungkin bagi banyak generasi sekarang yang ada disana pastinya tidak pernah merasakan langsung peristiwa itu tapi sampai dengan hari ini mereka masih hidup diatas puing-puing perang tersebut sehingga mereka bisa belajar betapa dasyatnya efek dari sebuah perang bagi kehidupan dan peradaban umat manusia.


Bagaimana Anda melihat BIAK kini?

Seperti halnya sejarah pernah mencatat dan memandang pentingnya Biak, saya pun masih mengamininya hingga kini dimana Biak bisa menjadi hub wilayah Papua dan gerbang menyatukan Indonesia untuk lebih dekat dengan saudara-saudara Melanesia kita di wilayah pasifik, selain itu potensi pariwisata juga tidak kalah strategisnya dimana BIAK tidak hanya bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata minat khusus melihat sejarah era perang pasifik tapi juga bisa menjadi destinasi wisata masa depan yakni Space Tourism yang sedang Booming dan di impikan oleh banyak orang di dunia barat sana sekarang ini hingga beberapa kolongmerat dunia, sebut saja Richard Branson, Jeff Bezos dan Elon Musk pun berlomba-lomba menjadi operator space tourism yang terdepan. Jadi, hayo liat lah Biak sebelum meluncur ke luar angkasa guys! Ajakan Evi Aryati Arbay menutup wawancara kami.

Topik :

Artikel Terkait
Terpopuler