Sabtu, 20/04/2024 18:26 WIB WIB

Ali Sastroamidjojo, Diplomat Marhaenis

Ali Sastroamidjojo, Diplomat Marhaenis ALIS SASTROAMIDJOJO


LIDER - JAKARTA Sebagai perdana menteri, ia sukses menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pada 1955 di Bandung. Ali Sastroamidjojo juga adalah  Duta Besar Indonesia pertama  untuk Amerika Serikat (1950 1953). Sebelumnya, ia aktif dalam perundingan-perundingan dengan Belanda sebagai wakil ketua delegasi dalam perundingan Renville Februari 1948) dan menjadi anggota delegasi Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (1949). 

Selama pemerintahannya (1953-1957), Indonesia menerapkan politik luar negeri yang dikenal dengan politik luar negeri bebas-aktif, anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Untuk itu, kerjasama dengan negara-negara yang sama-sama menentang imperialisme dan kolonialisme, khususnya negara-negara

Asia dan Afrika pun dijalin dengan sunguh-sungguh.  Orang Pergerakan Ali Sastroamidjojo adalah orang pergerakan. Ia seangkatan dengan Soekarno dan bersahabatbaik dengannya. Ia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno. Ia pun sempat ditahan pemerintah Hindia Belanda karena aktivitas politiknya melalui partai itu. Lahir di Grabag, Magelang, 21 Mei 1903, Raden

Ali Sastroamidjojo berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Ia menyelesaikan pendidikannya di Hogere Burgerschool (HBS) pada 1922. Di HBS ini ia mengenal budaya barat, khususnya budaya Belanda. Selama waktu ini, ia juga belajar sastra Prancis, Jerman, dan Inggris. Ia berkenalan dengan penulis seperti Bernard Shaw, William Shakespeare, dan Willem Kloos. Pada 1923, berkat bantuan dari Hendriks Kraemer, Sarjana Sastra Timur dan Kebudayaan Timur kenalan kakanya, Ali berhasil memperoleh beasiswa belajar di Belanda dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. 

Aktivitas politik Ali Sastroamidjojo dalam PI di Belanda sedikit banyak telah membentuk visi perjuangannya. Kelak di kemudian hari visi ini dia wujudkan ketika menjadi perdana menteri di era kemerdekaan. Melalui aktivitas politiknya itu, Ali Sastroamidjojo mengamati dan bertemu dengan banyak aktivis anti-kolonial Asia dan Afrika yang membangun gerakan politik transnasional di Eropa. PI memang telah menjadi simpul utama pergerakan anti-kolonial Indonesia di Belanda. Pada 1925, PI mengadopsi strategi politik baru, yaitu melancarkan propaganda pandangan politiknya dalam dunia internasional, Salah satu program PI adalah menjalin kontak dengan organisasi dan aktivis anti-kolonialdi Eropa, baik yang berasal dari negara jajahan mau pun dari negara Eropa yang mempunyai perhatian pada perjuangan kemerdekaan negara jajahan. Untuk mendorong misi tersebut, PI mulai aktif membangun kerjasama politik dengan para aktivis dan intelektual dunia jajahan lain serta mengikuti konferensi internasional yang digelar di Eropa. Salah satu konferensi penting yang diikuti oleh para aktivis PI adalah Konferensi Melawan Penindasan Kolonial dan Imperialisme di Brussels, 1927.

Dalam konferensi itulah, untuk pertama kali, Ali Sastroamidjojo dan kawan-kawan bertemu dengan Nehru muda dan para pemimpin muda pergerakan Asia dan Afrika lainnya. Ide-ide yang disampaikan oleh konferensi itu serta pengalamannya berinteraksi dengan aktivis Asia dan Afrika diakui telah memengaruhi visi politiknya mengenai pentingnya membangun kerjasama dalam pergerakan anti-kolonial Asia dan Afrika. Kembali ke tanah air, Ali membuka kantor pengacara pada 1928. Dia juga menerbitkan majalah “Djanget” di Surakarta, bersama dengan Soekiman Wirjosandjojo. Namun, ia meninggalkan pekerjaan nya untuk bergabung dengan PNI. Alasan Ali bergabung dengan PNI jelas. “Pada pokoknya, tujuan politik PNI waktu itu adalah mencapai Indonesia Merdeka, sesuai dengan asas dan tujuan Perhimpunan Indonesia. Karena itu, sayamemilih masuk PNI,” kata Ali, seperti tertulis dalam memoarnya, “Tonggak-Tonggak di Perjalananku”. Pada 29 Desember 1929, Soekarno dan para pemimpin penting PNI lainnya ditangkap oleh penguasa kolonial Belanda dalam serangkaian penggerebekan di seluruh Jawa. PNI pun bubar. Beberapa eks anggota PNI mendidirikan Partai Indonesia (Partindo) dan Ali bergabung ke dalam partai itu. Karena tekanan pemerintah kolonial yang semakin represif, Partindo pun membubarkan diri pada 18 November 1936. Namun beberapa bulan kemudian, tokoh-tokoh pergerakan nasionalis kembali mendi rikan partai baru lagi, yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang asas dan tujuan yang sama dengan PNI dan Partindo. Pemrakarsa pendirian Gerindo adalah kaum muda di Partindo dan kader kader aktivis PNI. Ali Sastroamidjojo pun bergabung dengan Gerindo.

Di akhir masa pemerintahan Hindia Belanda dan menjelang masa pendudukan Jepang itu, Ali Sastroamidjojo sempat menjabat sebagai Wakil Wali Kota Madiun serta terpilih sebagai anggota Dewan Kotapraja Jawa Timur, mewakili Gerindo. Di masa pendudukan Jepang, Ali bekerja sebagai pegawai tinggi yang ditempatkan di bagian urusan umum. Pada April 1945, ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai pegawai tinggi di kantor urusan ekonomi.

Menjadi Diplomat Di masa-masa awal ke merdekaan, Ali Sastroamidjojo  menempati jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan RI. Dalam kabinet RI pertama yang dibentuk Presiden Soekarno, Ali ditunjuk sebagai Menteri Penerangan. Lalu, di bawah cabinet Amir Sjarifuddin, Ali menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Di bawah kabinet Amir Syarifudin ini Ali juga ditunjuk sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, yang digelar pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948.

Pada 1947, Ali tergabung dalam delegasi Indonesia yang dikirim untuk mengikuti Konferensi Antar- hubungan Asia di New Delhi. Banyak sejarawan menyebut konferensi ini sebagai tonggak penting yang berdampak signifikan memuluskan terselenggaranya KAA. Bagi Ali secara pribadi, sebagaimana ditulis dalam biografinya, konferensi ini menyingkap kesadaran politis bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri dalam memperjuangkan aspirasi nasionalnya. Ia merasakan bahwa bangsa-bangsa Asia lain, yang diwakili dalam konferensi itu, sedang berjuang pula seperti Indonesia. Akhir 1948, ketika terjadi Agresi Militer II dan ibu kota Yogyakarta diduduki Belanda, Ali juga ikut di tawan bersama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mochamad Hatta. Padahal setahun sebelum nya, dia menjadi salah satu anggota delegasi dalam perundingan Renville. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, Belanda, November 1949, Ali Sastroamidjojo bersama Mr Sujono Hadinoto menjadi anggota delegasi Indonesia mewakili PNI. Hasil KMB tidak terlalu memuaskan PNI, karena Indonesia menjadi negara federal Republik Indonesia Serikat/RIS), bukan negara kesatuan. Namun, seperti dikatakan Ali Sastroamidjojo, “PNI walapun tidak puas dengan persetujuan KMB itu dapat menerimanya, karena yakin bahwa pengakuan kedaulatan de facto dan de jure negara kita oleh Belanda akan memperkuat kedudukan kita keluar dan ke dalam. Dengan kedaulatan penuh itu, hubungan-hubungan dengan negara-negara lain di dunia dapat dijalankan dengan normal, apalagi RIS sudah masuk menjadi anggota PBB. Ke dalam negeri sebagai negara berdaulat penuh bisa menjalankan politik dalam negeri kitadengan bebas tanpa di campuri tangan lagi oleh negara mana pun.”

Pada 1950, Ali Sastroamidjojo ditunjuk sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Saat menyampaikan surat-surat kepercayaan, Ali meminta kesempatan berpidato. Akan tetapi, Presiden Amerika Serikat saat itu, Henry Truman, meminta agar pidato itu dihentikan. Ali pun mengatakan dengan bercucuran air mata: “Saya mengerti perjuangan kemerdekaan negeri tuan yang mulia, karena saya teringat kepada perjuangan kemerdekaan negeri saya sendiri yang gagah berani, seperti negeri tuan.” Kedudukan sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat selama 1950-1953 menjadi kesempatan emas bagi Ali Sastroamidjojo untuk memperluas dan merekatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia dan Afrika. Menurut pengakuannya, hubungan baik dengan duta-duta besar Asia dan Afrika dipupuk dengan mengadakan pertemuan rutin sebulan sekali secara bergiliran di kediaman mereka ketika bertugas di Washington. Pengalaman sebagai duta besar ini tidak hanya memperdalam kemampuan diplomatiknya tetapi juga semakin meyakinkannya untuk segera membangun kerjasama antara negara Asia dan Afrika. Jalan Menuju Konferensi Asia-Afrika Pada 1953,

Ali Sastroamidjojo ditunjuk menjadi Perdana Menteri. Maka lahirlah Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang merupakan kabinet koalisi antara PNI, Partai Indonesia Raya (PIR), dan NU. Menurut pengakuan Ali Sastroamidjojo, ia sendiri tak ikut membentuk susunan kabinetnya. Ia baru mengetahui penunjukannya setelah pembentukan cabinet itu selesai dan disetujui oleh Presiden. Ketika itu ia pun masih menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Washington. Kedudukan sebagai perdana menteri telah membuka jalan bagi Ali Sastroamidjojo untuk merealisasikan visinya tentang perjuangan menentang imperialisme-kolonialisme. Ia pun segera mengimplementasikan politik luar negeri bebas aktif dengan menjalin kerjasama dengan negara-negara bekas jajahan. Kerjasama dalam perjuangan menentang imperialisme ini pun diperluas dengan menjalin hubungan dengan negara-negara sosialis yang juga menentang imperialisme dan kolonialisme, seperti mengirim duta besar ke Beijing, Tiongkok pada 1953 dan membuka kedutaan besar di Moskow, UniSovyet, 1954.

Dalam pidatonya di parlemen, saat dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia pada 1953, Ali Sastroamidjojo menekankan ketegangan yang diakibat kan oleh Perang Dingin tidak bisa diredakan apabila Indonesia hanya menjalankan diplomasinya sendiri tanpa melibatkan negara-negara yang kedudukan dan keadaannya sama. Oleh sebab itu, menurutnya, kerjasama politik dengan negara Asia dan Afrika akan memperkuat usaha tercapainya perdamaian dunia.

Momen untuk merealisasikan kerjasama itu pun datang ketika pada 1954, Ali menerima surat dari  Perdana Menteri Sri Lanka, Sir John Kotelawa. Dalam surat tersebut, Ali dan beberapa tokoh lainnya seperti Jawaharlal Nehru (India), U Nu (Burma) dan Muhammad Ali (Pakistan) diundang untuk menghadiri Konferensi Kolombo untuk membahas ketegangan akibat perang dingin yang semakin serius karena meletusnya perang di Vietnam. Dalam kesempatan itu,  Ali mengusulkan diadakannya sebuah konferensi lebih besar yang melibatkan negara-negara di Asia dan Afrika. itulah kali pertama gagasan tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) dikemukakan Ali di hadapan pemimpin-pemimpin Asia. Tetapi ide tersebut tidak langsung disambut. Banyak pihak yang meragukan keberhasilannya. Terlebih adanya kekhawatiran dari Perdana Menteri India, Nehru, tentang perbedaan di antara negara negara Asia-Afrika yang hanya akan menimbulkan konflik. Ali pun meyakinkan mereka bahwa momentum penyelenggaraan konferensi tersebut sangat tepat di tengah isu perdamaian dan konflik yang tengah melanda dunia saat itu. Dia juga mengung kapkan kesanggupan Indonesia untuk menjadi tuan rumah konferensi itu. Pernyataan Ali ini menjawab keraguan para pemimpin. Mereka akhirnya mene rima dan mendukung usulan tersebut.Ali kemudian menyampaikan hasil pembicaraan tersebut kepada Presiden Soekarno. Sejarawan Rushdy Hosein mengatakan, “Waktu dibicarakan nya dengan Presiden Soekarno tentu saja dia sangat setuju dengan ide Pak Ali tersebut. Pastinya itu sesuai dengan misi Bung Karno yang ingin memosisikan Indonesia sebagai garda terdepan pembebasan negara-negara Asia-Afrika yang saat itu banyak yang masih dijajah negara-negara Barat,”

Ali pun mengundang kembali empat perdana menteri Asia ke Istana Bogor pada 28-29 September 1954. Dalam Konferensi Bogor inilah tujuan dari KAA disepakati oleh kelima negara pemrakarsa penyelenggaraan KAA. Ali Sastroamidjojo kemudian bertanggungjawab melaksanakan persiapan KAA dan mengirimkan undangan kepada negara-negara Asia dan Afrika. Sejarah kemudian mencatat, KAA berjalan sukses. Konferensi yang diselenggarakan di Bandung pada 18-24 April 1955 diikuti oleh 29 negara dan menghasilkan kesepakatan bersejarah yang diberi nama sebagai Dasa Sila Bandung.

Nasionalis, Marhaenis Ali Sastroamidjojo melalui kabinet yang dipimpinnya, di samping berhasil  menyelenggarakan KAA juga sukses menyiapkan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) pada 1955. Pemilu ini dikenang sebagai pemilu pertama di Indonesia dan paling demokratis. Dalam pemilu itu, partainya, PNI, berhasil keluar sebagai peraih suara terbanyak dan ia pun kembali diberi mandat untuk membentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU ditambah Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Perti. Kabinet ini sering juga disebut dengan Kabinet Ali-Roem-Idham, berdasarkan nama-nama tokoh formaturnya. Kabinet Ali Sastroamidjojo II dilantik pada 24

Maret 1956. Salah satu programnya adalah penyelesaian seluruh hasil perjanjian KMB, 1949. Untuk itu, pada bulan April 1956 Kabinet Ali II mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) pembatalan perjanjian KMB kepada DPR. Pada 3 Mei 1956, Kabinet Ali II mengeluarkan undang-undang yang membatalkan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) secara sepihak. Empat bulan kemudian, pemerintah Indonesia pun menyatakan menolak membayar utang-utang warisan colonialisme Belanda. Kabinet Ali Sastroamidjojo II hanya bertahan setahun. Pada 14 Maret 1957, Ali menyerahkan kembali mandate kepada Presiden Soekarno karena Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Atas saran Ali, Soekarno pun membentuk zaken kabinet yang dipimpin oleh Ir, Juanda. Setelah tidak memimpin pemerintahan, Ali tercatat sebagai wakil tetap Indonesia di PBB hingga 1960. Sekembalinya ke tanah air dari tugas sebagai wakil tetap di PBB, Ali terjun ke dalam aktivitas partai dan tidak banyak terlibat dalam dunia diplomasi atau politik luar negeri.

Namun demikian, jejak-jejak yang ditinggalkannya selama menjadi perdana menteri atau diplomat terpahat jelas dalam perjalanan politik luar negeri Indonesia di kemudian hari. KAA, khususnya, telah membawa dampak yang cukup luas, baik untuk kepentingan nasional Indonesia maupun untuk perdamaian dunia. Bagi Indonesia yang waktu itu masih berjuang menuntaskan proses dekolonisasi, terbukti di kemudian hari konferensi itu telah berhasil memupuk dukungan negara-negara Asia dan Afrika dalam perjuangannya membebaskan Irian Barat. Di samping itu, politik luar negeri bebas-aktif yang dijalankan Indonesia pun mulai diikuti oleh negara-negara yang tidak masuk blok barat atau bloktimur. Bagi negara-negara diAsia dan Afrika, KAA telah membuat perjuangan kemerdekaan bangsa-bansa Asia dan Afrika semakinmeningkat. KAA juga telah meningkatkan kedudukan bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam percaturan politik dunia serta mendorong munculnya kerja sama dan hubungan yang baik antar negara Asia-Afrika di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. KAA juga mengurangi ketegangan dunia karena sedikit banyak berhasil mencegah lebih luasnya keterlibatan negara-negara di Asia dan Afrika dalam perang dingin.

Salah satu prinsip dalam Dasa Sila Bandung adalah menjunjung tinggi penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Di kemudian hari, pernyataan prinsip ini terbukti  berhasil mendorong negara-negara imperialis-kolonialis melepaskan daerah-daerah jajahannya. Dan prinsip persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, juga telah berhasil memaksa beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia menghapus politik diskriminasi rasialnya. Selanjutnya, kerjasama dalam perjuangan menentang imperialisme tidak hanya dijalin dengan negara-negara Asia-Afrika, tapi juga dengan negara di Amerika Latin. Sehubungan dengan ini, Ali Sastroamidjojo berhasil menjalin kerjasama Indonesia dan Kuba. Ali pergi ke Havana pada Desember 1959 untuk menjajaki hubungan dengan Kuba yang saat itu, dibawah kepemimpian Fidel Castro, baru saja berhasil melawan imperialisme Amerika dan menumbangkan rezim Batista. Karena sikapnya yang luwes, dia langsung disukai oleh Fidel Castro dan pemimpin revolusi Kuba lainnya, seperti CheGuevara. Hasil dari dari kunjungan itu, Presiden Soekarno setuju untuk membuka perwakilan negara masing-masing di Kuba maupun Indonesia. Pada Januari 1960, Presiden Soekarno melakukan kunjungan yang amat bersejarah ke Kuba, bertemu dengan Fidel Castro dan Che Guevara. Dampak lain KAA adalah berdirinya Gerakan

Non-Blok pada September 1961 yang diprakarsai lima kepala pemerintahan dari Yugoslavia, India, Mesir, Ghana dan Indonesia. Gerakan ini mengadopsi Dasa Sila Bandung prinsip perjuangannya ini dan  keanggotaanya tidak hanya terbatas pada negara-negara Asia-Afrika, tetapi juga Amerika Latin, bahkan beberapa negara Eropa.

Sayang sekali jejak-jejak perjuangan diplomasi Ali Sastroamidjojo seperti tertutup seiring dengan surutnya peran Ali dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya dalam politik Indonesia. Nama Ali Sastroamidjojo pun nyaris terplupakan seiring dengan proses kejatuhan Soekarno pasca peristiwa 30 September 1965.

Ali, ketika terjadi peristiwa 1965, tengah memimpin PNI. Di bawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo dan Sekjennya, Surachman, PNI mengalami kebangkitannya kembali berkat keterlibatan para aktivis muda yang beraliran nasionalis-radikal. Ideologi Marhaenisme yang merupakan ajaran Bung Karno pun ditegaskan kembali sebagai dasar perjuangan partai. Berkat peran kalangan muda, hubungan PNI engan

Presiden Soekarno pun semakin akrab. Pasca peristiwa 30 September, penguasa militer yang memegang kendali politik ketika itu terus melakukan tekanan terhadap pengurus dan anggota partai yang identik dengan Presiden Soekarno itu. Akhirnya, pada Kongres Luar Biasa di Bandung, 21-27 April 1966, kepemimpinan Ali-Surachman digulingkan. Selanjutnya, menyusul digulingkannya Soekarno pada 1967, Ali Sastroamidjojo pun ditahan oleh penguasa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Kendati demikian, sampai akhir hayatnya, Diplomat Ali Sastroamijojo tetap meyatakan dirinya sebagai seorang nasionalis, Marhaenis dan pengikut Soekarno. Ali Sastroamidjojo wafat di Jakarta pada 13 Maret 1975 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata.■

 

Topik : Ali Sastroamidjojo , Diplomat Marhaenis

Artikel Terkait
Terpopuler