Ketuhanan Yang Maha Esa Kembali Menjadi Perdebatan
SAKSIKAN Wawancara dengan SYEKH PANJIGUMILANG
SAKSIKAN Wawancara dengan SYEKH PANJIGUMILANG
Perbedaan gini ratio yang semakin tajam, berkisar pada 39% pada saat sekarang, memperlihatkan bahwa asas Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih menjadi Pekerjaan Rumah terbesar buat bangsa ini, sementara rakyat terus disibukan dengan SIla KeTuhanan dan Persatuan bak tiada habisnya.
Gini ratio itu menjelaskan bahwa hanya sebahagian kecil masyarakat,atau yang disebut sebagai kelompok elit yang berfoya -foya dengan resources yang dimiliki oleh negara ini. Ini terjadi karena tidak ada pembatasan atau larangan yang jelas antara mana yang menjadi wilayah publik dan mana yang menjadi wilayan privat. Dengan kata lain, kewenangan dan hak istimewa yang dimiliki oleh pejabat publik justru dipakai untuk ‘mengurusi’ kepentingan pribadi pejabat dan kroni-kroninya.
Pakar Hukum Tata Negara Profesor Jimly Asshidiqie dalam bincang-bincang IndonesiaSatu Youtube Channel Bersama Freddy Ndolu menekankan tidak boleh ada campur aduk antara politik dan bisnis untuk mencegah konflik kepentingan. Jika tidak, pejabat yang memiliki usaha akan terus menjadi bulan-bulanan public, lepas dari niat baiknya masuk dalam dunia politik.
“Pada saat sekarang jabatan-jabatan politik sudah lebih dari 50% dikuasai oleh pengusaha. Mengapa? Demokrasi makin lama makin mahal. Butuh uang. Kalau tidak diatur, lama kelamaaan jabatan-jabatan publik semua diisi oleh pengusaha. Maka konflik kepentingan ini harus diatur,” katanya.
Demokrasi sendiri tidak melarang pengusaha untuk berpolitik. Yang dilarang adalah penyalahgunaan kewenangan sebagai pejabat publik untuk kepentingan bisnis pejabat itu karena pada saat yang sama ia menjadi penentu kebijakan di perusahaan yang ia kelolah.
“Salah satu cara adalah mengatur supaya pengusaha yang sudah menjadi pejabat publik dilarang menduduki jabatan tertentu pada perusahaannya dan bahkan saham yang sudah dimiliki diserahkan kepada blind trust yang mengatur saham-saham para pejabat. Ini untuk mencegah konflik kepentingan seperti yang ada di Amerika Serikat yang sayangnya dirusak ketika Donald Trumph menguasai White House,” urai Prof Jimly.
Undang-undang larangan konflik kepentingan ini berkait dengan kebebasan yang dijamin didalam demokrasi. Kebebasan harus dipandu oleh solidaritas yang akan melahirkan keadilan sosial yang selanjutnya memungkinkan persatuan dan gotong royong.
“Bagaimana orang mau bersatu kalau tidak ada keadilan? Dalam semangat ini kita membutuhkan undang-undang larangan konflik kepentingan yang dapat memantau sisi yang tidak teramati dari korupsi dan membuka jalan bagi tata kelolah yang beretika,” tutupnya. (AR)