Jum'at, 26/04/2024 07:43 WIB WIB

Sang Penerus Tahta

Sang Penerus Tahta  Foto : keratonjogja.id


Menjadi  anak perempuan sulung dari pasangan Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Kanjeng Ratu Hemas tentunya berarti sangat banyak dalam pandangan kebanyakan orang. Rakyat telah begitu lama disuguhi tontonan “khayangan”, betapa tak terjangkaunya hidup yang dipertontonkan anak-anak kalangan atas karena “kuasa” yang diterimanya dari lahir.

GKR Mangkubumi adalah sebuah cerita sebaliknya. Menjadi sulung dari lima bersaudara yang semuanya perempuan memberinya beban ekstra. Oleh sang Bapak ia dituntut untuk lebih kuat dan lebih mandiri, jika memang harus diperbandingkan dengan ke empat adiknya yang lain.

“ Bapak memang mendidik saya lebih keras dibandingkan adik-adik saya yang lain. Dulu, waktu belajar di luar negri, saya dibiarkan sendiri. Kalau yang lain  ditungguin sampai dua mingguan. Tetapi itu membuat saya kuat.It makes me stronger,” kisahnya mengenang, ketika ia harus sendirian selama 10 tahun belajar di Australia, kemudian di Amerika.

Kala itu, putri sulung Sultan Hamengku Bowono X bernama lengkap Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi   itu  masih duduk di bangku kelas II SMA Bopkri I, Yogyakarta. Sang Bapak menyuruhnya pergi (ke Australia). Dia menangis, merasa dibuang. Tanpa sepengetahuan ayahnya ia meminta gurunya untuk tidak mencoret namanya karena ia (merasa) akan segera kembali.

“ Tetapi ternyata, apa pun kondisinya saya bisa. Sepuluh tahun di Australia belajar Retail Management dan dua tahun di Amerika belajar administrasi bisnis. Hidup jauh dari orang tua dan semua dikerjakan sendiri tanpa pembantu. Memang pada akhirnya semua itu membuat saya kuat.”

Lama bermukim dan belajar  di luar negri, Ibu Arti dan Dastia ini toh tidak merasa harus mengagungkan pendidikan Barat secara berlebihan.

“Memang wawasan kita menjadi lebih luas. Dan yang penting adalah pola pikir yang dikembangkan disana dan kita mix (gabungkan) dengan pola pikir lokal yang ada disini. Itu yang dapat kita olah dengan bekal pendidikan dari Barat,” ujarnya.

Juga, ia tidak mengambil kesempatan mengkapitalisasi pengetahuan bisnisnya dengan peluang yang terbuka karena posisi sang Bapak sebagai pejabat publik. Jauh-jauh sebelumnya perintah sang Bapak tegas dan lugas. “Jauh jauh dari Pemda. Jangan pernah ikut tender pemerintah.” Dan itu ia pegang teguh.

“Kami memang tidak pernah berbisnis besar dan tidak menggunakan fasilitas pemerintah. Adik saya jualan tas. Saya sendiri belajar bisnis tetapi tidak bisa berbisnis karena tidak bisa, misalnya, ngomong untung sekian. Tapi kalau menolong orang, bisa.”

Pekerja Sosial (Social Worker) adalah pilihan yang ia lakoni hingga kini. Bagaimana  menolong orang dan tidak menghitung waktu pula.

Kepeduliannya tinggi pada kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat kecil, ia membenamkan dirinya pada kegiatan-kegiatan sosial yang nampak tak berujung. Ia menyelenggarakan Gerakan Nasi Bungkus, untuk korban Merapi selama kurang lebih 1 bulan pasca bencana erupsi Merapi. ­Menyalurkan dana bantuan untuk pembuatan shelter korban merapi. Mengadakan kegiatan trauma healing untuk anak- anak dan ibu- ibu korban Merapi berupa pelatihan kerajinan untuk ibu- ibu dan permainan untuk anak- anak.

Memberdayakan pedagang pasar, pengrajin, mengadakan pelatihan ­peningkatan pendapatan keluarga, menjaga warisan sejarah dan menggalang dana untuk korban bencana di luar negri dan segudang kegiatan sosial lainnya membuat  12 jam sehari kerja nampak tak cukup.

”Awal kawin suami bingung. Tidak kerja tapi pergi jam 8 pagi, pulang jam 11  malam. Kerjaan saya setiap hari rapat...,” tutur pengagum Ibu Theresa dari Calcuta ini dalam tawa yang panjang.

Topik : gkrmangkubumi , keratonjogja , peduliukm

Artikel Terkait
Terpopuler