Sabtu, 27/04/2024 14:25 WIB WIB

Nasionalisme Dibutuhkan untuk Menyelamatkan Bumi

Nasionalisme Dibutuhkan untuk Menyelamatkan Bumi


Oleh Syarif Bastaman, pemerhati bisnis dan politik

 

MENGAPA nasionalisme atau faham kebangsaan masih relevan dan  dibutuhkan saat ini. Tidak lain karena dunia semakin sempit, penduduk bumi semakin padat. Konon idealnya bumi ini dihuni oleh 4 milyar manusia, sekarang sudah hampir 8 milyar orang. Nasionalisme makin diperlukan untuk menjaga tanah, air dan udara kita.

Agar kita masih bisa punya tempat hidup yang manusiawi, masih bisa menjalin pola kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan yang kuat. Agar apa? Agar bangsa kita tidak punah. Punah tanahnya, hilang identitasnya bahkan terputus tali kekerabatannya. Mungkin ada yang menganggap saya anti segala sesuatu yang berbau Arab?

Sebenarnya tidak. Tidak anti, saya tidak anti budaya luar dari manapun. Kenapa? Karena anti budaya luar artinya kita “kuper” (kurang pergaulan). Saya orang yang justru sangat adaptif terhadap hal-hal baru yang membawa pada kemajuan peradaban.

Peradaban kata dasarnya adalah “adab” yang sepadan dengan “ethics “ in english. Nah asalkan nilai-nilai baru itu mengandung adab atau ethics yang tinggi, saya pasti ikuti. Melupakan jati diri bangsa? Nggak juga. Sepanjang masuknya unsur luar ke dalam budaya kita melalui proses akulturasi yang sehat. Akulturasi adalah keniscayaan, apalagi di jaman global saat ini.

Akulturasi yang sehat akan membuat suatu bangsa makin kuat, kaya dan kokoh jatidirnya.
Akulturasi yang sehat yaitu suatu proses masuknya dan diterimanya unsur budaya luar karena dianggap baik dan memperkaya, memperkuat budaya lokal. Akulturasi yang menerima hanya unsur baik yang dibawa dari luar. Yang saya tolak adalah pemaksaan budaya.

Pemaksaan budaya itulah yang sesungguhnya adalah penjajahan budaya. Itulah yang saat ini sedang terjadi. Ada budaya luar, dalam hal ini budaya Arab yang dipaksakan masuk dan wajib diterima oleh bangsa kita. Pemaksaan yang mudah terjadi karena berlindung di balik ajaran agama, sehingga sangat sulit bagi orang awam dan bagi penghayat agama yang baik untuk menepisnya apalagi menolaknya.

Contoh Konkritnya begini, dalam konteks kosa kata atau anasir budaya Arab yang banyak sekali kita terima. Silakan saja mau mengganti kata selamat ulang tahun dengan “milad mubarak” , persahabatan dengan silaturahmi dan masih ratusan istilah arab lainnya, tapi jangan diembel-embeli dengan semacam “ancaman”; “kalau tidak memakainya berarti murtad, kafir atau anti Islam.

Silakan mau bergamis, celana cingkrang, berjenggot panjang, berhijab bahkan berniqab tapi jangan menganggap orang yang tidak mengikuti sbg kafir bahkan musuh Islam dan seterusnya.
Toh sebenarnya sudah banyak sekali kosa kata Indonesia atau istilah bahasa Arab yang sudah dipakai umum di sini. Assalamualaikum, alhamdulillah, insya Allah dll sudah mengIndonesia. Kurang arab apa lagi?

Saya teringat pepatah Jepang, kita melayang di angkasa dunia ini bukanlah sebagai burung-burung yang bebas terbang tinggi tanpa ada kendali. Kita melayang di angkasa dunia seibarat layangan, terbang melayang tinggi justru karena ada benang yang menghubungkannya ke bumi, ada yang mengendalikannya dari bumi.

Jika benang itu putus, jatuh pulalah si layangan. Layangan putus. Layangan putus adalah ibarat bangsa yang lupa akan jati dirinya, lupa akan kebangsaannya. Bangsa yang demikian pasti akan punah. Dan Indonesia kita tidak boleh punah, justru harus semakin jaya. Merdeka!

Topik : nasionalisme , kebangsaan , akulturasi , faham kebangsaan

Artikel Terkait
Terpopuler