Selasa, 16/04/2024 19:50 WIB WIB

Tambah Satu Kali

Tambah Satu Kali Foto Presiden Jokowi


Judul sampul Lider kali ini menyoroti perdebadan publik tentang perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo yang akrab di sapa Jokowi. Wacana ini langsung memicu perdebatan antara kelompok yang pro dan yang kontra. Kelompok pengusung masa jabatan atau tiga periode memiliki argumentasi, sangat Indonesia dan masuk akal, walaupun masih dalam tataran wacana. Arguenya, Covid-19, pemulihan ekonomi, tingkat kepercayaan publik yang terus mingkat, dan proyek pembangunan infrastruktur dari pinggiran yang massif dilakukan pemerintah Jokowi, dianggap masih membutuhkan sentuhan tangan dingin Jokowi memimpin bangs ini  sehingga dua periode jabatan presiden khusus Jokowi terasa terlalu pendek. Dikawartirkan pengalaman, ganti presiden ganti kebijakan dapat membuat mangkraknya sejumlah proyek yang sedang berlangsung mengingat ada korelasi proyek pembangunan infrastruktur yang menelan banyak anggaran ada korelasinya dengan pinjaman luar negeri yang perlu di rawat oleh Jokowi.

Sebaliknya, kelompok yang menolak perpanjangan masa jabatan, atau Jokowi di ikutkan lagi pada pilpres 2024  juga memiliki alasan yang sangat demokratis terkait sirkulasi elite sesuai konstitusi hasil amandemen 2022.  Terutama aktivis pro demokrasi (prodem) dan mereka yang tidak menginginkan Jokowi lagi. Nampaknya kelompok prodem ada trauma terhadap masa jabatan presiden yang tidak dibatasi seperti di era Soeharto. Aktivis pejuang demokrasi, merasa sudah final soal masa jabatan cukup 2 periode saja, sesuai amandemen Pasal 7 UUD 1945, tentang masa jabatan Presiden cukup dua periode.

Sementara, data survei beberapa lembaga survei menunjukkan kelompok yang menolak Jokowi kembali di usung di pilpres 2024 masih tinggi sekitar 60 persen; sisanya mendukung. Sedangkn tingkat kepercayaan terhadap Jokowi terus meningkat, data Desember 2021 mencapai 73%. Presiden Jokowi sendiri buru-buru merespons gagasan dini tiga periode sebagai ide liar, yang memiliki agenda tertentu. Dan respons Presiden Jokowi sangat wajar mengingat masih ada tiga tahun lagi ia harus bekerja menyelesaikan masa kerjanya sesuai konstitusi. Pertanyaanya, bagaimana kalau pada akhirnya, rakyat tetap menghendaki dan direspons oleh wakil rakyat di DPP dan MPR?

Jika kita melihat sejarah, perubahan masa jabatan Presiden bukanlah sesuatu yang baru. Pada tahun 1963, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan ketetapan Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Presiden Ssoekarno menjadi Presiden Seumur Hidup, walaupun Presiden Soekarno menerima keputusan itu , tapi ia meminta agar dilakukan revisi pada sidang MPRS berikutnya. Namun, Ketetapan MPRS itu bahkan  menjadi legitimasi oleh Soeharto terpilih dalam 6 periode.  Setelah Soekarno di maksulkan, aturan masa jabatan Presiden dan Wapres Pasal 7 UUD 1945 asli yang berbunyi. “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Pasal inilah dimanfaatkan secara baik oleh Soeharto sehingga dapat memerintah selama 32 tahun (1967-1998).

 

 

Power Tends to Corrupt

Soeharto nampaknya tidak mengindahkan warning Lord Acton bahwa,  ”power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”  yang kemudian di jatuhkan melalui people power pada pweristiwa reformasi 1998.

Amandemen konstitusi kembali dilakukan MPR hasil pemilu 1999, salah satu pasalnya untuk membatasi  masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya dua periode. Jabatan presiden dan wapres dapat memerintah selama 5 tahun kemudian dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Dalam perspektif global, masalah masa jabatan Presiden ini bukan problem yang hanya dihadapi Indonesia. Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) juga mengalami hal serupa. Franklin Delano Roosevelt adalah Presiden Amerika Serikat ke-32 yang merupakan satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang terpilih tiga kali dalam masa jabatan dari 1933 hingga 1945. Setelahnya masa jabatan Presiden Amerika ditetapkan hanya boleh dua periode, dan reformasi 1998 lalu mengadopsi batasan ini. Begitu juga Tiongkok di era pemerintahan Xi Jinping mengubah konstitusi untuk memperpanjang jabatan Xi tahun ini, dari yang sebelumnya dibatasi menjadi tidak dibatasi melalui amandemen konstitusi satu partai di China. Perpanjangan masa jabatan ini hanya untuk Xi Jinping, karena berbagai alasan, utamanya, kepercayaan rakyat meningkat, pertumbuhan ekonomi pesat, dan politik luar negeri yang mampu melampaui popularitas adi daya Amerika Serikat. Pertanyaannya, apakah mungkin perpanjangan masa jabatan atau mengikutkan kembali Jokowi pada pemilu 2024 ? Apakah perlu mengubah konstitusi bila tuntutan rakyat mencapai batas signifikan ?.

Lima Catatan Lider

Sedikitnya ada lima catatan, mengapa, gagasan perpanjangan atau Jokowi tetap dipertahankan dalam masa transisi perlu di pertimbangkan para wakil rakyat di MPR. Pertama, tragedi pandemi Covid-19 yang melanda negeri kita dan dunia yang belum selesai, dan pemulihan ekonomi sebagai akibat dampak susulan yang perlu di kelola oleh ketokohan seperti Jokowi. Semua APBN sudah difokuskan pada pencegahan dan pemulihan kesehatan akibat pandemi Covid-19 dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi nyaris lumpuh. Dalam proses, kepemimpinan Presiden Jokowi, terutama di bidang kesehatan masyarakat dan ekonomi, membangkitkan kepercayaan diri masyarakat yang sempat goyah. Hubungan luar negeri yang nyaris hilang, pelan tapi pasti, mulai kembali normal, on track. Kedua, masalah infrastruktur pembangunan diberbagai bidang yang terus berlangsung seperti, jalan tol, jembatan, bandara, sentra ekonomi, industri padat karya dan modal, yang di ibaratkan kapal NKRI yang di nakodai Jokowi sedang  berlayar menuju ke dermaga impian, tapi karena alasan trauma masa jabatan lama cenderung corrupt, Jokowi harus di ganti karena alarm batas waktu demokrasi.  Ketiga, keberhasilan Jokowi meredam isyu politik agama melalui pembubaran beberapa ormas garis keras seperti  (FPI dan ‘Hizbutahir), perlu dirawat melalui komunikasi kepemimpinan Jokowi yang lebih terkait komitmen nasional terhadap ideologi Pancasila yang sempat mencapai titik nadir di awal reformasi. Jokowi, kiranya, masih dibutuhkan untuk merawat dan memulihkan kondisi hubungan sosial antar dan intra masyarakat pasca pemilu 2024. Ke-empat, pembawaan Jokowi yang rendah hati (humble), tapi tegas, dalam mengambil keputusa telah membuat kepercayaan publik meningkat, kehidupan masyarakat lebih kondusif, infrastruktur terus bergeliat, ekonomi mulai membaik, dan kepercayaan dunia terhadap Indonesia terutama presidensi G20 di bawa kepemimpinan Jokowi. Investor asing mulai mengalihkan perhatian ke Indonesia sebagai negeri yang aman dan menguntungkan untuk berinvestasi. Kelima, hubungan sipil dan militer Indonesia membaik, serta hubungan TNI dan Polri sedang mengalami masa yang sangat harmoni dimana kedua institusi bersenjata ini semakin mengerti tentang peran dan fungsinya masing-masing yakni TNI sebagai alat Pertahanan Negara dan Polri sebagai Kamtibmas. Perkembangan positif inilah yang menjadi alasan mengapa Lider kali ini tampil dengan percaya diri menjembatani wacana masyarakat terkait Jokowi tiga periode. Lepas dari dimensi demokrasi konstitusional, kondisi ekonomi, social politik dan  juga terutama dimensi keindonesiaan patut dipertimbangkan. Sebagai penutup, lider mengusulkan konstitusi harus di jawab melalui jalur konstitusi pula, agar pimpinan nasional pasca 2024 tetap legitimate and democratic. (fn)***

Topik : Tambah Satu Kali

Artikel Terkait
Terpopuler